
Oleh: Herman, MPd, MTh, CBC (Aktivis & Akademisi)
Di era ketika “Suara Keras” lebih mudah viral daripada “Suara Waras”, Agama sering kali dipelintir untuk Kepentingan Kuasa dan Ekstremisme menjadi Komoditas Politik yang diperdagangkan di Pasar Media Sosial.
Moderasi beragama, meskipun seperti suara kecil di tengah kebisingan, tetap hidup. Ia dijaga oleh segelintir orang yang percaya bahwa beragama tidak harus beringas.
Mereka yang menjaga moderasi beragama bukanlah orang yang sibuk berbicara soal surga dan neraka, melainkan orang yang memastikan bahwa tetangga berbeda keyakinan tetap aman, bahwa anak-anak tumbuh tanpa dicekoki doktrin kebencian, dan bahwa ruang ibadah menjadi tempat perlindungan, bukan ketakutan.
Para penjaga moderasi ini hadir di berbagai tempat: di kampus, komunitas lintas iman, pesantren, hingga ruang digital. Mereka bukan hanya mendamaikan konflik, tetapi juga membentuk ekosistem sosial yang sehat. Ironisnya, di negeri yang konstitusinya menjamin kebebasan beragama, moderasi justru sering dicurigai.
Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, pendidikan yang membebaskan, dan publik yang kritis, moderasi beragama sulit bertahan. Jika Ekstremisme terus mengakar di Pikiran dan Sistem Kita, sejarah telah membuktikan bahwa Tragedi Kolektif adalah Konsekuensi yang nyata.
**Perspektif Yang Lebih Luas:**
Selain itu, dari perspektif yang lebih luas, moderasi beragama tidak hanya soal menjaga keseimbangan dalam menjalankan keyakinan. Lebih dari itu, ia adalah pendekatan multidimensi yang menghubungkan nilai spiritual, sosial, dan intelektual untuk menciptakan masyarakat yang inklusif. Dalam konteks global, moderasi beragama menjadi kunci untuk membangun dialog lintas budaya yang menjembatani jurang perbedaan.
Pendekatan ini juga berakar pada prinsip keadilan. Moderasi bukan berarti mengabaikan keyakinan seseorang, tetapi bagaimana nilai-nilai agama dapat selaras dengan Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial dan Penghargaan terhadap Pluralitas. Sebuah masyarakat yang mengutamakan “Moderasi Beragama akan lebih cenderung menjunjung Empati daripada Fanatisme”.
Ilmu pengetahuan berperan penting dalam memperkuat moderasi beragama. Kajian-kajian interdisipliner, seperti antropologi, psikologi sosial, dan sejarah, menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana agama dan budaya saling memengaruhi. Dengan memahami akar konflik agama dari sudut pandang sejarah dan sosial, kita dapat menciptakan strategi untuk membangun komunitas yang harmonis.
Teknologi dan Ruang Digital, di satu sisi, sering menjadi alat penyebaran ujaran kebencian. Namun, mereka juga memiliki potensi besar untuk menyebarkan pesan damai dan moderasi beragama.
Kampanye Digital yang Edukatif dan Inspiratif dapat menjadi Katalis Perubahan, meruntuhkan batas-batas prasangka, dan membangun Solidaritas Global.
Namun, tantangan utama terletak pada keberanian untuk berpihak. Negara, Institusi Pendidikan dan Tokoh Masyarakat harus bersinergi untuk memperkuat Literasi Agama yang Inklusif.
Ketika Moderasi Beragama disokong oleh Kebijakan yang Tegas dan Pendidikan yang mendalam, ia akan berkembang menjadi Kekuatan Sosial yang mampu melawan Radikalisme, baik di Ranah Individu maupun Sistemik. #ModerasiBeragama #Toleransi #KebebasanBeragama #Keberagaman #PendidikanDamai #MelawanEkstremisme